Bisa anda bayangkan bagaimana jika anda tuna rungu (tuli) dan tuna wicara (bisu) sejak kecil. Kehilangan dua panca indra saja. Apa yang akan terjadi sepanjang kehidupan anda? Suramkah, atau biasa-biasa, atau tetap optimis karena anda merasa bahwa kehidupan itu sendiri merupakan karunia Tuhan yang harus disyukur?
Kaitannya dengan masalah tuna rungu dan tuna wicara ini, di desa kita Jinggotan ini ada sepasang suami istri yang menarik kita jadikan contoh. Wawan Febrianto (24 tahun), warga RT 03 RW 01 Segawe dan istrinya
Dewi Lestari (21 tahun, asli Karangrandu Pecangaan RT 06 RW 01). Keduanya samasama tuna wicara dan tuna rungu.
Menurut ibu Wawan, Suparti, Wawan mengalami cacat sejak bayi. “Awit sederenge selapan niku ngedalaken getih mawon saking dubure.. nggih kados tiyang haid niku,” kisah Suparti.Terus pada usia 2 tahun Wawan pernah terjatuh. Dan sejak itulah Wawan mulai menampakkan gejala cacat fisiknya. Tidak mendengar dan tidak bisa bicara.
Anak beruntung
Walaupun begitu, Wawan masih termasuk anak yang beruntung karena sejak kecil ibunya bisa memberikan perhatian penuh. Selama 6 tahun sejak TK sampai kelas 4 SD ibunya mengantar-jemput ke SLB Jepara. Menginjak kelas 5 SD Wawan mulai dilepas naik angkutan umum sendiri untuk pulang-pergi sekolah. “Nggih awale, kulo tutke ten wingkingi, ngantos dugi sekolahane. Terus dangu-dangu nggih kulo jarke piyambakan,” papar Suparti.
Dari TK hingga SMA Wawan melakoninya di SLB tsb. Bahkan hingga kini setelah dia lulus, dia bekerja sebagai karyawan di SLB tersebut. Pemuda yang baru menikah beberapa bulan lalu itu mengaku mendapat
gaji 200 ribu per bulan. SMS dan tulisan Menurut ibunya, Wawan benar-benar tidak bisa mendengarkan sedikitpun suara kecuali suara khaki yang dihentak-hentakan ke tanah di dekatnya. Suarapun tak keluar apa-apa. Jadi bisa dibayangkan kesehariannya: diam nan sunyi.
Lantas bagaimana cara dia berkomunikasi dengan istrinya yang sama-sama tuna rungu dan wicara dan dengan lingkungan sekitarnya? Suami istri ini sehari-harinya menggunakan bahasa isyarat untuk komunikasi. Dengan gerakan-gerakan tangan dan mulut, dan mimik wajah. Keduanya tentu telah mempelajari cara-cara itu selama di SLB.
Adapun komunikasi dengan lingkungan, menurut ibunya, Wawan tidak pernah berkomunikasi. Selama ini, sejak kecil hingga dewasa ini, dia pasti pulang pada jamnya dan langsung masuk rumah. Berjalan-jalan ke tetangga pun tidak pernah. Praktis, aktifitas hariannya hanya berkutat pada rumah, jalan raya, dan SLB.
Sedangkan untuk berkomunikasi dengan orang lain, ia menggunakan tulisan tangan atau SMS. Saat Sekar Kampoeng (SK) mewawancarainya pun dengan tulisan tangan. Tulisannya baik dan terbaca jelas. Kami menggunakan satu kertas secara bergantian, selama wawancara. Dan di akhir wawancara kami bertukar nomer HP, lalu kami mencoba komunikasi SMS. Sebagaimana umumnya remaja, bahasa yang digunakannya penuh dengan singkatan yang terkadang butuh sedikit pikiran untuk mengetahui artinya. Tapi secara gari besar mudah difahami.
Untuk berkomunikasi dengannya harus pakai bahasa Indonesia. Karena bahasa Jawa tidak diajarkan di SLB. Ketika SK tanya via SMS, “Wawan, kamu bisa bahasa Jawa?” Dia balas SMS, “Oh... Aku gkbsa bhsa jwa lum ya. Bisa bhs bhs indonesia ya...”
Pasangan suami istri itu kini nampak hidup normal bahagia, dan mengaku akan terus tinggal di Segawe, di tengah keluarganya: orang tua dan kakek-neneknya. (Selamat berbahagia, Wawan)***
Kaitannya dengan masalah tuna rungu dan tuna wicara ini, di desa kita Jinggotan ini ada sepasang suami istri yang menarik kita jadikan contoh. Wawan Febrianto (24 tahun), warga RT 03 RW 01 Segawe dan istrinya
Dewi Lestari (21 tahun, asli Karangrandu Pecangaan RT 06 RW 01). Keduanya samasama tuna wicara dan tuna rungu.
Menurut ibu Wawan, Suparti, Wawan mengalami cacat sejak bayi. “Awit sederenge selapan niku ngedalaken getih mawon saking dubure.. nggih kados tiyang haid niku,” kisah Suparti.Terus pada usia 2 tahun Wawan pernah terjatuh. Dan sejak itulah Wawan mulai menampakkan gejala cacat fisiknya. Tidak mendengar dan tidak bisa bicara.
Anak beruntung
Walaupun begitu, Wawan masih termasuk anak yang beruntung karena sejak kecil ibunya bisa memberikan perhatian penuh. Selama 6 tahun sejak TK sampai kelas 4 SD ibunya mengantar-jemput ke SLB Jepara. Menginjak kelas 5 SD Wawan mulai dilepas naik angkutan umum sendiri untuk pulang-pergi sekolah. “Nggih awale, kulo tutke ten wingkingi, ngantos dugi sekolahane. Terus dangu-dangu nggih kulo jarke piyambakan,” papar Suparti.
Dari TK hingga SMA Wawan melakoninya di SLB tsb. Bahkan hingga kini setelah dia lulus, dia bekerja sebagai karyawan di SLB tersebut. Pemuda yang baru menikah beberapa bulan lalu itu mengaku mendapat
gaji 200 ribu per bulan. SMS dan tulisan Menurut ibunya, Wawan benar-benar tidak bisa mendengarkan sedikitpun suara kecuali suara khaki yang dihentak-hentakan ke tanah di dekatnya. Suarapun tak keluar apa-apa. Jadi bisa dibayangkan kesehariannya: diam nan sunyi.
Lantas bagaimana cara dia berkomunikasi dengan istrinya yang sama-sama tuna rungu dan wicara dan dengan lingkungan sekitarnya? Suami istri ini sehari-harinya menggunakan bahasa isyarat untuk komunikasi. Dengan gerakan-gerakan tangan dan mulut, dan mimik wajah. Keduanya tentu telah mempelajari cara-cara itu selama di SLB.
Adapun komunikasi dengan lingkungan, menurut ibunya, Wawan tidak pernah berkomunikasi. Selama ini, sejak kecil hingga dewasa ini, dia pasti pulang pada jamnya dan langsung masuk rumah. Berjalan-jalan ke tetangga pun tidak pernah. Praktis, aktifitas hariannya hanya berkutat pada rumah, jalan raya, dan SLB.
Sedangkan untuk berkomunikasi dengan orang lain, ia menggunakan tulisan tangan atau SMS. Saat Sekar Kampoeng (SK) mewawancarainya pun dengan tulisan tangan. Tulisannya baik dan terbaca jelas. Kami menggunakan satu kertas secara bergantian, selama wawancara. Dan di akhir wawancara kami bertukar nomer HP, lalu kami mencoba komunikasi SMS. Sebagaimana umumnya remaja, bahasa yang digunakannya penuh dengan singkatan yang terkadang butuh sedikit pikiran untuk mengetahui artinya. Tapi secara gari besar mudah difahami.
Untuk berkomunikasi dengannya harus pakai bahasa Indonesia. Karena bahasa Jawa tidak diajarkan di SLB. Ketika SK tanya via SMS, “Wawan, kamu bisa bahasa Jawa?” Dia balas SMS, “Oh... Aku gkbsa bhsa jwa lum ya. Bisa bhs bhs indonesia ya...”
Pasangan suami istri itu kini nampak hidup normal bahagia, dan mengaku akan terus tinggal di Segawe, di tengah keluarganya: orang tua dan kakek-neneknya. (Selamat berbahagia, Wawan)***