Di beberapa desa terutama di kawasan pesisir Pantura (pantai utara) tradisi ini terus lestari. Hanya di desa-desa tertentu pentas tayubnya sudah dihilangkan sebab dipandang sekedar buang-buang dana, serta biasanya tak lepas dari pesta minuman keras.
Namun walaupun awalnya dimaksudkan sebagai pesta rakyat dan momen menyedekahi bumi, di beberapa desa Kabumi dilangsungkan sekedar untuk “memenuhi syarat”, sementara warga tak lagi merasakannya sebagai pesta rakyat apalagi mengungkapkan rasa syukur atas anugrah hasil bumi.
Kabumi Tempur
Pak Giran dengan tamu-tamunya dari luar desa, dengan hidangan jadah gemblong dan tape ketan. (Sabtu Kliwon 13 Oktober 2012.) |
Hampir setiap rumah di sana menghidangkan jamuan, baik yang ringan dan berat. Yang tak terlewatkan biasanya jadah (gemblong). Juga ada kue-kue lainnya layaknya hari raya. Nampak sekali mereka ingin menghormati para tamunya. Dan penghormatan itu mereka lakukan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anugrah Tuhan terutama hasil bumi. “Lha kapan malih to Pak, leh ajeng nyedekahi hasil bumi, nek mboten kanti coro kados mekaten,” ungkap Pak Mustofa warga dukuh Duplak Tempur.
Momen Kabumi bagi warga Tempur merupakan saat di mana mereka kedatangan para tamu. Mereka senang dan siap untuk menyambut para tamu. “Justru kalau orang Tempur tidak kedatangan tamu saat Kabumi akan merasa resah,” jelas Rujono, tokoh pemuda desa Tempur.
Para tamu itu bisa sanak famili, teman, atau kenalan yang berada di luar desa Tempur. Setiap orang yang pernah merasakan suasana Kabumi Tempur pasti terkesan dan ingin sekali di masa mendatang mengulang merasakan suasana yang sama.
Warga tumpah-ruah di sekitar balaidesa menyaksikan kethoprak Sapta Mandala. (Sabtu Kliwon 13 Oktober 2012.) |
Rp. 45.000 per KK
Bagi warga Tempur Kabumi adalah perhelatan rakyat terbesar, bahkan mengalahkan acara 17-an. “Untuk mendukung Kabumi warga tidak merasa berat untuk iuran sebesar rata-rata Rp. 45.000. Tiap kepala keluarga. Padahal jika dimintai sumbangan acara 17-an sebesar 5 ribu saja mereka agak keberatan,” papar Pak Giran warga Tempur yang pernah beberapa kali menjadi panitia Kabumi Tempur.
“Ada 968 KK sedesa Tempur,” lanjut Pak Giran, “sehingga terkumpul dana Rp. 43,560,000. Dana sebesar itu dibelanjakan 1 ekor kambing untuk Manganan, 1 ekor kerbau, pengajian, nanggap joget 2 hari semalam, dan kethoprak sehari semalam. Acara-acara tersebut diselenggarakan selama 3 hari 3 malam, dan dipusatkan di balai desa. Warga tumpah-ruah di sana.”
Begitulah Kabumi desa Tempur yang nuansa kemeriahannya tidak hanya terpusat di balai desa, namun meluas dan menelusup hingga ke rumah-rumah warga. Tetaplah lestari keberkahanmu, bumi Tempur!