Kebahagiaan para petani datang seiring tibanya musim hujan. Terutama para petani lahan gogo yang memang mengandalkan air hujan. Seperti yang dilakukan Pak Sadi (warga RT 01 RW 02 Kembang) ini, sedang menyiapkan lahan gogonya di sebelah utara lapangan Kembang. Tahun ini, sebagaimana umumnya petani, dia hendak menanam padi.
Para petani gogo seperti Pak Sadi ini terpaksa harus menggunakan pembajak manual tenaga manusia, karena pembajak profesional dengan tenaga sapi dilarang karena dikhawatirkan sapinya akan merusak tanaman-tanaman pokok yang sudah tumbuh di lahan gogo.
Setelah proses membalik tanah selesai, selanjutnya adalah menggaru seperti yang dilakukan Pak Sadi dalam gambar di atas.
1000-1500 meter Persegi per Keluarga
Warga dukuh Segembul, sebagaimana dukuh-dukuh lainnya, banyak sekali yang memiliki lahan garapan gogo. Rata-rata memperoleh luasan antara 10-15 meter kali 100 meter. Dan sebagaimana biasanya di awal musim, para petani gogo ini akan menanam padi lebih dulu. Setelah itu baru palawija.
Tidak seperti sebelumnya, sejak tahun ini para petani gogo tidak diperbolehkan lagi menanam singkong (ketela pohon). Ketentuan ini berlaku di seluruh wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Pati (termasuk di dalamnya adalah wilayah kecamatan Kembang dan sekitarnya).
Hal ini tentu disesalkan para petani, sebab permintaan ketela pohon cukup tinggi karena terdapat perusahaan-perusahaan pengolah ketela pohon untuk dijadikan tepung pati.
Ketela Pohon Rakus Hara
Tanaman ketela selama ini dianggap sebagai tumbuhan yang dapat mengganggu konservasi hutan karena sifatnya yang rakus hara (gizi/nutrisi di dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman). ”Semua pakar sepakat tentang hal itu, jika Anda menemukan pohon di hutan yang tumbuh dengan baik bersama dengan ketela, tolong saya diberi tahu. Karena secara keilmuan salah satu tanaman itu pasti tak akan tumbuh dengan baik bila ditanam bersamaan”, ujar Hendi Satiarto, Administratur KKPH Pati saat menanggapi pertanyaan perserta Acara Pembinaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) beberapa waktu lalu seperti dikutip oleh harian Media Indonesia.
Para petani tradisional, biasanya juga tahu kalau singkong itu rakus unsur hara. Tetapi mereka hanya memberikan urea yang akan menambah suplai unsur N (Nitrogen). Dosis yang mereka berikan biasanya sekitar 1 sampai 2 kuintal per hektar. Pemberian urea tanpa bahan organik ini akan mengubah struktur tanah menjadi semakin liat. Akibatnya, lahan yang secara terus-menerus ditanami singkong selain akan miskin unsur hara, juga akan mengalami degradasi (kerusakan struktur). Hingga kalau tetap ditanami singkong hasilnya terus menurun, tetapi ditanami komoditas lainnya juga tidak bisa tumbuh baik.
Itulah kiranya mengapa ketela pohon/singkong dilarang ditanam di lahan perhutani. Para petani diharap memaklumi ketentuan ini agar hutan kita benar-benar bisa tumbuh lestari dan memberi manfaat yang besar bagi kehidupan warga di sekitarnya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, mari kita renungkan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Hutanku berikut ini:
HUTANKU
(Iwan Fals dalam Album Keseimbangan Alam 2010)
Hutan ditebang kering kerontang
Hutan ditebang banjir datang
Hutan ditebang penyakit meradang
Hutan-hutanku hilang anak negeri bernasib malang
Hutan-hutanku hilang bangsa ini tenggelam
Adakah engkau tahu ini adalah hukuman
Adakah engkau tahu ini adalah peringatan
Adakah engkau tahu ini adalah ancaman
Adakah engkau tahu ini adalah ujian Tuhan
Sadar dan sadarlah hei anak negeri
Sadar dan sadarlah para pemimpin
Hentikan, hentikan
Hentikan semua duka ini
Kembalikan kesuburan negeri ini
Kembalikan keindahan hutanku
Kembalikan ketenangan bangsa ini
Kembalikan, kembalikan hutanku
Biarkan, biarkan hutanku bangkit lagi
Lagu-lagu Iwan Fals lainnya dalam album Keseimbangan Alam:
- Pohon untuk Kehidupan
- Tanam-tanam Siram-siram
Para petani gogo seperti Pak Sadi ini terpaksa harus menggunakan pembajak manual tenaga manusia, karena pembajak profesional dengan tenaga sapi dilarang karena dikhawatirkan sapinya akan merusak tanaman-tanaman pokok yang sudah tumbuh di lahan gogo.
Ibu Sutiyasih dan seorang ibu temannya (warga Segembul) sedang mencangkul membalik tanah lahan gogonya. |
Tak ketinggalan kaum ibu turut bekerja menyiapkan ladang. Ibu Sutiyasih (warga Segembul) dengan seorang temannya sedang mencangkul membalik tanah. Kegiatan mencangkul ini sebagai ganti membajak (jawa = luku) dengan luku yang menggunakan tenaga sapi.
Setelah proses membalik tanah selesai, selanjutnya adalah menggaru seperti yang dilakukan Pak Sadi dalam gambar di atas.
1000-1500 meter Persegi per Keluarga
Warga dukuh Segembul, sebagaimana dukuh-dukuh lainnya, banyak sekali yang memiliki lahan garapan gogo. Rata-rata memperoleh luasan antara 10-15 meter kali 100 meter. Dan sebagaimana biasanya di awal musim, para petani gogo ini akan menanam padi lebih dulu. Setelah itu baru palawija.
Tidak seperti sebelumnya, sejak tahun ini para petani gogo tidak diperbolehkan lagi menanam singkong (ketela pohon). Ketentuan ini berlaku di seluruh wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Pati (termasuk di dalamnya adalah wilayah kecamatan Kembang dan sekitarnya).
Hal ini tentu disesalkan para petani, sebab permintaan ketela pohon cukup tinggi karena terdapat perusahaan-perusahaan pengolah ketela pohon untuk dijadikan tepung pati.
Ketela Pohon Rakus Hara
Tanaman ketela selama ini dianggap sebagai tumbuhan yang dapat mengganggu konservasi hutan karena sifatnya yang rakus hara (gizi/nutrisi di dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman). ”Semua pakar sepakat tentang hal itu, jika Anda menemukan pohon di hutan yang tumbuh dengan baik bersama dengan ketela, tolong saya diberi tahu. Karena secara keilmuan salah satu tanaman itu pasti tak akan tumbuh dengan baik bila ditanam bersamaan”, ujar Hendi Satiarto, Administratur KKPH Pati saat menanggapi pertanyaan perserta Acara Pembinaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) beberapa waktu lalu seperti dikutip oleh harian Media Indonesia.
Para petani tradisional, biasanya juga tahu kalau singkong itu rakus unsur hara. Tetapi mereka hanya memberikan urea yang akan menambah suplai unsur N (Nitrogen). Dosis yang mereka berikan biasanya sekitar 1 sampai 2 kuintal per hektar. Pemberian urea tanpa bahan organik ini akan mengubah struktur tanah menjadi semakin liat. Akibatnya, lahan yang secara terus-menerus ditanami singkong selain akan miskin unsur hara, juga akan mengalami degradasi (kerusakan struktur). Hingga kalau tetap ditanami singkong hasilnya terus menurun, tetapi ditanami komoditas lainnya juga tidak bisa tumbuh baik.
Itulah kiranya mengapa ketela pohon/singkong dilarang ditanam di lahan perhutani. Para petani diharap memaklumi ketentuan ini agar hutan kita benar-benar bisa tumbuh lestari dan memberi manfaat yang besar bagi kehidupan warga di sekitarnya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, mari kita renungkan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Hutanku berikut ini:
HUTANKU
(Iwan Fals dalam Album Keseimbangan Alam 2010)
Hutan ditebang kering kerontang
Hutan ditebang banjir datang
Hutan ditebang penyakit meradang
Hutan-hutanku hilang anak negeri bernasib malang
Hutan-hutanku hilang bangsa ini tenggelam
Adakah engkau tahu ini adalah hukuman
Adakah engkau tahu ini adalah peringatan
Adakah engkau tahu ini adalah ancaman
Adakah engkau tahu ini adalah ujian Tuhan
Sadar dan sadarlah hei anak negeri
Sadar dan sadarlah para pemimpin
Hentikan, hentikan
Hentikan semua duka ini
Kembalikan kesuburan negeri ini
Kembalikan keindahan hutanku
Kembalikan ketenangan bangsa ini
Kembalikan, kembalikan hutanku
Biarkan, biarkan hutanku bangkit lagi
Lagu-lagu Iwan Fals lainnya dalam album Keseimbangan Alam:
- Pohon untuk Kehidupan
- Tanam-tanam Siram-siram