Anonimous
Banyak orang merasa doanya tidak/belum terkabulkan. Tetapi banyak pula yang merasa bahwa Tuhan telah mengabulkan doa-doa tetapi dalam kadar yang masih minim, masih jauh dari target yang diharapkan. Itu hanya kata perasaan, belum tentu akurat melihat kenyataan sesunggunya. Memang sulit sekali mengukur NILAI antara doa yang dikabulkan dengan yang tidak dikabulkan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;
Kita sering tidak mencermati, bahkan lupa, bahwa anugrah yang kita rasakan hari ini, minggu ini, bulan ini, adalah merupakan “jawaban” Tuhan atas doa yang kita panjatkan sepuluh atau dua puluh Tahun yang lalu. Apabila sempat terlintas fikiran atau kesadaran seperti itu, pun kita masih meragukan kebenarannya. Karena keragu-raguan yang ada di hati kita, akan memunculah prasangka bahwa hanya sedikit doa ku yang dikabulkan Tuhan.
Doa yang kita pinta pada Tuhan Yang Maha Esa menurut ukuran kita adalah baik dan pas, akan tetapi apa yang baik dan pas menurut kita, belum tentu baik dalam pandangan Tuhan. Tanpa kita sadari bisa saja Tuhan mengganti permohonan dan harapan kita dalam bentuk yang lainnya, tentu saja yang paling baik untuk kita. Tuhan yang memiliki Waktu, mungkin akan mengabulkan doa kita pada waktu yang tepat . Ketidaktahuan dan ketidaksadaran kita akan bahasa dan kehendak Tuhan (kodrat alam), membuat kita menyimpulkan bahwa doa ku tidak dikabulkan Tuhan.
Prinsip kebaikan meliputi dua sifat, merata dan spesifik. Kebaikan merata akan berlaku untuk semua orang atau makhluk. Kebaikan misalnya keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman hidup.
Sebaliknya, kebaikan yang bersifat spesifik artinya, baik bagi orang lain, belum tentu baik untuk diri kita sendiri. Atau, baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Kebaikan ini meliputi pula dimensi waktu, misalnya tidak baik untuk saat ini, tetapi baik untuk masa yang akan datang. Memang sulit sekali untuk memastikan semua itu. Tetapi paling tidak dalam berdoa, kemungkinan-kemungkinan yang bersifat positif tersebut perlu kita sadari dan terapkan dalam diri. Kita butuh kearifan sikap, kecermatan batin, kesabaran, dan ketabahan dalam berdoa. Jika tidak kita sadari kemungkinan-kemungkinan itu, pada gilirannya akan memunculkan sifat buruk dalam berdoa, yakni; sok tahu. Misalnya berdoa mohon berjodoh dengan si A, mohon diberi rejeki banyak, berdoa supaya rumah yang ditaksirnya dapat jatuh ke tangannya.
Jujur saja, kita belum tentu benar dalam memilih doa dan berharap-harap akan sesuatu. Kebaikan spesifik yang kita harapkan belum tentu menjadi berkah buat kita. Maka kehendak Tuhan untuk melindungi dan menyelamatkan kita, justru dengan cara tidak mengabulkan doa kita. Akan tetapi, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, lantas berburuk sangka, dan tergesa menyimpulkan bahwa doaku tidak dikabulkan Tuhan.
Tidak gampang memahami apa “kehendak” Tuhan. Diperlukan kearifan sikap dan ketajaman batin untuk memahaminya. Jangan pesimis dulu, sebab siapapun yang mau mengasah ketajaman batin, ia akan memahami apa dan bagaimana “bahasa” Tuhan. Dalam khasanah spiritual Jawa disebut “bisa nggayuh kawicaksanane Gusti”.
Banyak orang merasa doanya tidak/belum terkabulkan. Tetapi banyak pula yang merasa bahwa Tuhan telah mengabulkan doa-doa tetapi dalam kadar yang masih minim, masih jauh dari target yang diharapkan. Itu hanya kata perasaan, belum tentu akurat melihat kenyataan sesunggunya. Memang sulit sekali mengukur NILAI antara doa yang dikabulkan dengan yang tidak dikabulkan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;
Kita sering tidak mencermati, bahkan lupa, bahwa anugrah yang kita rasakan hari ini, minggu ini, bulan ini, adalah merupakan “jawaban” Tuhan atas doa yang kita panjatkan sepuluh atau dua puluh Tahun yang lalu. Apabila sempat terlintas fikiran atau kesadaran seperti itu, pun kita masih meragukan kebenarannya. Karena keragu-raguan yang ada di hati kita, akan memunculah prasangka bahwa hanya sedikit doa ku yang dikabulkan Tuhan.
Doa yang kita pinta pada Tuhan Yang Maha Esa menurut ukuran kita adalah baik dan pas, akan tetapi apa yang baik dan pas menurut kita, belum tentu baik dalam pandangan Tuhan. Tanpa kita sadari bisa saja Tuhan mengganti permohonan dan harapan kita dalam bentuk yang lainnya, tentu saja yang paling baik untuk kita. Tuhan yang memiliki Waktu, mungkin akan mengabulkan doa kita pada waktu yang tepat . Ketidaktahuan dan ketidaksadaran kita akan bahasa dan kehendak Tuhan (kodrat alam), membuat kita menyimpulkan bahwa doa ku tidak dikabulkan Tuhan.
Prinsip kebaikan meliputi dua sifat, merata dan spesifik. Kebaikan merata akan berlaku untuk semua orang atau makhluk. Kebaikan misalnya keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman hidup.
Sebaliknya, kebaikan yang bersifat spesifik artinya, baik bagi orang lain, belum tentu baik untuk diri kita sendiri. Atau, baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Kebaikan ini meliputi pula dimensi waktu, misalnya tidak baik untuk saat ini, tetapi baik untuk masa yang akan datang. Memang sulit sekali untuk memastikan semua itu. Tetapi paling tidak dalam berdoa, kemungkinan-kemungkinan yang bersifat positif tersebut perlu kita sadari dan terapkan dalam diri. Kita butuh kearifan sikap, kecermatan batin, kesabaran, dan ketabahan dalam berdoa. Jika tidak kita sadari kemungkinan-kemungkinan itu, pada gilirannya akan memunculkan sifat buruk dalam berdoa, yakni; sok tahu. Misalnya berdoa mohon berjodoh dengan si A, mohon diberi rejeki banyak, berdoa supaya rumah yang ditaksirnya dapat jatuh ke tangannya.
Jujur saja, kita belum tentu benar dalam memilih doa dan berharap-harap akan sesuatu. Kebaikan spesifik yang kita harapkan belum tentu menjadi berkah buat kita. Maka kehendak Tuhan untuk melindungi dan menyelamatkan kita, justru dengan cara tidak mengabulkan doa kita. Akan tetapi, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, lantas berburuk sangka, dan tergesa menyimpulkan bahwa doaku tidak dikabulkan Tuhan.
Tidak gampang memahami apa “kehendak” Tuhan. Diperlukan kearifan sikap dan ketajaman batin untuk memahaminya. Jangan pesimis dulu, sebab siapapun yang mau mengasah ketajaman batin, ia akan memahami apa dan bagaimana “bahasa” Tuhan. Dalam khasanah spiritual Jawa disebut “bisa nggayuh kawicaksanane Gusti”.