Pernah suatu saat Nasuka (yang disebut-sebut sebagai ketua Karang Taruna sejak sebelum 2000-an) menyatakan, “Walaupun belum pernah ada reorganisasi formal yang disaksikan banyak orang, secara de facto (pada kenyataannya) ketua KT saat ini dipegang oleh Yoni.”
Namun Yoni sendiri mengingkari bahwa dirinya menjadi ketua KT. Sebab dia sendiri kenyataannya tidak pernah mendapat mandat melalui reorganisasi resmi untuk menjabat ketua KT. Yoni menyatakan hal itu Kamis Pon 18 Juli 2013 (9 Romadhon 1434 H) ketika sedang hangat-hangatnya kasus penggunaan stempel KT untuk membuat beberapa surat yang menerangkan bahwa beberapa kandidat perangkat desa adalah aktifis KT. Stempel yang sebelumnya di tangan Yoni diminta oleh seseorang yang ditengarai sebagai utusan Nasuka. Padahal jauh sebelum itu Yoni mengakui bahwa dirinya adalah ketua KT secara de facto.
Kasus lain yang agak lucu pun terjadi. Ketika BPD akan membentuk P5 pada 6 September 2013 lalu, berbagai kalangan masyarakat yang diundang di antaranya adalah perwakilan KT. Dan yang mendapat undangan atas nama KT di antaranya adalah Didin Ardiansyah dan Ihsan (Ketua dan anggota Sekar Gandrung). Dua orang ini tidak mau menghadiri undangan tersebut karena merasa tidak pernah aktif di KT.
Memang, siapa saja yang berusia 11-45 tahun bisa dianggap sebagai anggota pasif KT (warga KT). Ini berdasar Pedoman Dasar KT pasal 10. Namun demikian, dalam rapat/pertemuan tingkat desa seperti itu bukankah yang seharusnya mewakili adalah para pengurus KT definitif? Pertanyaannya, adakah pengurus KT definitif jika lebih dari 10 tahun tidak pernah reorganisasi? Padahal menurut Pedoman Rumah Tangga KT pasal 9 ayat 1 butir b, masa jabatan pengurus KT tingkat desa/kelurahan adalah 3 tahun.
Dan sesuai Pedoman Dasar KT pasal 12 ayat 1, pengurus KT tingkat desa dianggap sah/legal bila disahkan oleh Temu Karya Desa :
“Pengurus (tingkat) desa/kelurahan atau komunitas sosial sederajat adalah pelaksana organisasi dalam lingkup wilayah desa/kelurahan atau komunitas sosial sederajat, yang disahkan Temu Karya Desa/Kelurahan atau komunitas sosial sederajat.”
Dan sesuai pasal 21 ayat 1, Temu Karya itu dianggap sah apabila dihadiri lebih dari setengah jumlah peserta (pengurus). Dan menurut Pedoman Rumah Tangga KT pasal 9 ayat 2 butir e, jumlah minimal pengurus KT tingkat desa adalah 35 orang.
Reorganisasi dan Transparansi
Silang-sengkarutnya KT kenyataannya memang tidak mempengaruhi aktifitas berbagai komunitas pemuda di Jinggotan. KT mau dibenahi atau dibiarkan berantakan, toh berbagai komunitas itu tetap berkarya sebagaimana adanya. Namun begitu semua warga KT pasti prihatin melihat kondisi KT yang membingungkan itu. Sebab, KT yang merupakan organisasi resmi dan “anak kandung” pemerintah sudah semestinya tampil lebih mapan, rapi, kredibel dan transparan.
Tentu semua berharap agar KT segera melakukan reorganisasi dan laporan pertanggungjawaban secara transparan. Ini tiada lain untuk memperkuat agar pergerakan pemuda di desa tercinta ini makin kondusif dan progresif.***