Tak lama lagi kita warga Jinggotan akan menggelar perhelatan terbesar yakni Pemilihan Petinggi (qiyam). Selama ini dan di banyak desa qiyam selalu diliputi dengan praktek money politik. Bagi-bagi uang ke para calon pemilih dan transaksi suara menjadi hal yang lumrah dan tak tabu lagi. Patutkah hal seperti itu dilestarikan? Tak sadarkah kita bahwa money politik itu sangat merusak tatanan sosial bermasyarakat.
Sebenarnya sangat ironi sekali, ketika masyarakat dengan rela suaranya dibeli, atau bahasa ekstrimnya mereka menjual hak mereka dengan sejumlah uang.. lantas setelah orang yang dipilihnya itu berkuasa dan ternyata tidak bisa bekerja dengan baik bahkan melakukan korupsi.. si pemilih itu protes dan marah-marah, “Hei.. kenapa kamu korupsi.. kamu telah menyelewengkan amanah rakyat..?”
Maka dengan entengnya sang penguasa menjawab, “Bukankah kamu memilih saya demi uang? Lantas mengapa kamu ikut marah kalau saya ngumpulkan uang dalam masa kekuasaan saya??”
Jawaban si penguasa itu tak salah. Sebab sebenarnya orang yang menyalurkan hak pilihnya karena uang, dia “tidak berhak” menyalahkan pemimpinnya yang ngumpulkan uang pada masa kekuasaannya.
Hak pilih itu sebenarnya adalah manifestasi hati nurani. Ia sesuatu yang tak ternilai dan tak tergantikan. Manakala hati nurani menghendaki sesuatu maka pilihannya pasti akan baik. Tapi hati menjadi kotor karena pengaruh materi seperti uang. Jika ini terjadi maka akal pun tidak jernih dalam menentukan pilihan. Dengan demikian menjaga hati dan akal pikiran agar tetap jernih adalah kewajiban. Caranya dengan menjaganya dari godaan materi.
Orang yang mampu menjaga hatinya tetap bersih dan tak tersentuh oleh segala godaan. Dialah orang yang terhormat.. dialah orang yang tak ternilai dan tak terbeli oleh apapun. Sebaliknya orang yang sengaja menjual hak pilihnya maka ibaratnya dia menjual dirinya lebih murah daripada segelas air mineral (yang seharga Rp 500 itu). Kok bisa? Iya, tentu. Coba hitung berapa lama satu periode kekuasaan petinggi! Enam tahun kan. Bearti total ada 365 x 6 = 2190 hari. Anggap saja kita menukar hak pilih kita dengan uang Rp 50.000. Sekarang, 50.000 : 2190 = 28,8. Dengan demikian hak pilih kita telah terjual dengan nilai Rp 28,8. Bukankah ini jaaaauuuh lebih murah dari segelas air atau apapun yang senilai Rp 500?
Kita harus sadar bahwa money politik merupakan fenomena yang sangat buruk dan destruktif bagi perjalanan bangunan sosial dan perpolitikan kita. Baik dari sudut pandang agama maupun hukum praktek money politik adalah “haram”. Agama menggolongkan money politik ke dalam praktek risywah atau suap. Baik si pemberi dan penerima suap sama-sama berdosa. Suap sangat berpotensi membungkam kebenaran dan mengedepankan kebatilan.
Secara hukum, delik money politik juga diatur dalam UU Pilkada No.32 Pasal 117 Tahun 2004 berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan /atau denda paling sedikit Rp satu juta rupiah (1.000.000).“
Persoalan money politik ini juga diatur dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2007 pasal 26 sbb:
(1) Bakal Calon dan Calon Petinggi dilarang memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud ataupun dalih apapun dalam usahanya untuk memenangkan dirinya dalam Pemilihan Petinggi.
(2) Bakal Calon dan Calon Petinggi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hal tersebut diketahui sebelum pemungutan suara, dinyatakan gugur dalam Pencalonan Petinggi.
Pilihan kita akan membawa konsekuensi enam tahun ke depan. Maka betapa sayangnya jika pilihan itu terkotori oleh uang atau materi apapun. Marilah kita hadapi pemilihan petinggi dengan hati dan pikiran yang jernih. Pilihan boleh berbeda, namun pastikan hati nurani dan pikiran jernih yang menentukannya. Hindari dan jauhi money politik, karena ia hanya mengotori hati dan pikiran kita, dan berakibat merusak masa depan kehidupan sosial-politik kita. Jangan sampai menukar/menjual hak pilih kita dengan kesenangan sesaat (misalnya dengan uang senilai rp. 50.000). Ketahuilah bahwa masa jabatan petinggi adalah 6 tahun (2190 hari). Jadi misalkan kita menjual hak pilih kita dengan senilai 50 ribu, itu berarti harga diri kita setara dengan Rp. 22,8. (50.000 : 2190 = 22,8). Jauh lebih murah dari sebuah gorengan seharga rp. 500. Mari memperbaiki masa depan desa kita mulai dengan menata dan membersihkan hati dan pikiran kita.***
Sebenarnya sangat ironi sekali, ketika masyarakat dengan rela suaranya dibeli, atau bahasa ekstrimnya mereka menjual hak mereka dengan sejumlah uang.. lantas setelah orang yang dipilihnya itu berkuasa dan ternyata tidak bisa bekerja dengan baik bahkan melakukan korupsi.. si pemilih itu protes dan marah-marah, “Hei.. kenapa kamu korupsi.. kamu telah menyelewengkan amanah rakyat..?”
Maka dengan entengnya sang penguasa menjawab, “Bukankah kamu memilih saya demi uang? Lantas mengapa kamu ikut marah kalau saya ngumpulkan uang dalam masa kekuasaan saya??”
Jawaban si penguasa itu tak salah. Sebab sebenarnya orang yang menyalurkan hak pilihnya karena uang, dia “tidak berhak” menyalahkan pemimpinnya yang ngumpulkan uang pada masa kekuasaannya.
Hak pilih itu sebenarnya adalah manifestasi hati nurani. Ia sesuatu yang tak ternilai dan tak tergantikan. Manakala hati nurani menghendaki sesuatu maka pilihannya pasti akan baik. Tapi hati menjadi kotor karena pengaruh materi seperti uang. Jika ini terjadi maka akal pun tidak jernih dalam menentukan pilihan. Dengan demikian menjaga hati dan akal pikiran agar tetap jernih adalah kewajiban. Caranya dengan menjaganya dari godaan materi.
Orang yang mampu menjaga hatinya tetap bersih dan tak tersentuh oleh segala godaan. Dialah orang yang terhormat.. dialah orang yang tak ternilai dan tak terbeli oleh apapun. Sebaliknya orang yang sengaja menjual hak pilihnya maka ibaratnya dia menjual dirinya lebih murah daripada segelas air mineral (yang seharga Rp 500 itu). Kok bisa? Iya, tentu. Coba hitung berapa lama satu periode kekuasaan petinggi! Enam tahun kan. Bearti total ada 365 x 6 = 2190 hari. Anggap saja kita menukar hak pilih kita dengan uang Rp 50.000. Sekarang, 50.000 : 2190 = 28,8. Dengan demikian hak pilih kita telah terjual dengan nilai Rp 28,8. Bukankah ini jaaaauuuh lebih murah dari segelas air atau apapun yang senilai Rp 500?
Kita harus sadar bahwa money politik merupakan fenomena yang sangat buruk dan destruktif bagi perjalanan bangunan sosial dan perpolitikan kita. Baik dari sudut pandang agama maupun hukum praktek money politik adalah “haram”. Agama menggolongkan money politik ke dalam praktek risywah atau suap. Baik si pemberi dan penerima suap sama-sama berdosa. Suap sangat berpotensi membungkam kebenaran dan mengedepankan kebatilan.
Secara hukum, delik money politik juga diatur dalam UU Pilkada No.32 Pasal 117 Tahun 2004 berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan /atau denda paling sedikit Rp satu juta rupiah (1.000.000).“
Persoalan money politik ini juga diatur dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2007 pasal 26 sbb:
(1) Bakal Calon dan Calon Petinggi dilarang memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud ataupun dalih apapun dalam usahanya untuk memenangkan dirinya dalam Pemilihan Petinggi.
(2) Bakal Calon dan Calon Petinggi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hal tersebut diketahui sebelum pemungutan suara, dinyatakan gugur dalam Pencalonan Petinggi.
Pilihan kita akan membawa konsekuensi enam tahun ke depan. Maka betapa sayangnya jika pilihan itu terkotori oleh uang atau materi apapun. Marilah kita hadapi pemilihan petinggi dengan hati dan pikiran yang jernih. Pilihan boleh berbeda, namun pastikan hati nurani dan pikiran jernih yang menentukannya. Hindari dan jauhi money politik, karena ia hanya mengotori hati dan pikiran kita, dan berakibat merusak masa depan kehidupan sosial-politik kita. Jangan sampai menukar/menjual hak pilih kita dengan kesenangan sesaat (misalnya dengan uang senilai rp. 50.000). Ketahuilah bahwa masa jabatan petinggi adalah 6 tahun (2190 hari). Jadi misalkan kita menjual hak pilih kita dengan senilai 50 ribu, itu berarti harga diri kita setara dengan Rp. 22,8. (50.000 : 2190 = 22,8). Jauh lebih murah dari sebuah gorengan seharga rp. 500. Mari memperbaiki masa depan desa kita mulai dengan menata dan membersihkan hati dan pikiran kita.***